Terdapat 3 instansi yang berwenang dalam penegakan hukum perikanan berdasarkan ketentuan Pasal 73 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu instansi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Kepolisian Negara RI.
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan tersebut tidak mengatur pembagian kewenangan secara jelas dan tidak pula mengatur mekanisme kerja yang pasti, sehingga ketiga instansi tersebut menyatakan instansinya sama-sama berwenang dalam penegakan hukum perikanan serta tanpa adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya. Hal inilah yang disebut sebagai konflik kewenangan dalam penegakan hukum perikanan.
Dikatakan konflik kewenangan karena ketiga instansi tersebut sama-sama berwenang dalam menangani perkara yang sama dan berjalan secara sendiri-sendiri tanpa adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya, artinya sama-sama berwenang melakukan penyidikan serta sama-sama berwenang mela-kukan pemberkasan BAP dan menyerahkannya kepada Jaksa Penuntut Umum tanpa adanya pembagian kewenangan secara jelas serta tanpa adanya mekanisme kerja yang pasti. Perlu diketahui bahwa konflik kewenangan ini tidak hanya bersifat negatif melainkan konflik kewenangan bersifat positif (sama-sama berwenang). Sebagai ilustrasi contoh konflik kewenangan secara negatif, berdasarkan informasi dari masyarakat pada titik koordinat tertentu telah terjadi penangkapan ikan secara illegal (tanpa izin). Informasi tersebut diinformasikan pada ketiga instansi penegak hukum perikanan, yaitu instansi DKP, TNI AL dan Kepolisian secara bersamaan, lalu ketiga instansi tersebut menurunkan armadanya masing-masing untuk melakukan penangkapan, dan bertemulah ketiga armada tersebut di tengah-tengah laut, walaupun tidak terjadi pertengkaran/perkelahian, dengan adanya tindakan sama-sama menurunkan armada berarti telah terjadi kerugian materi untuk melakukan tindakan yang sia-sia tidak menentu. Ilustrasi contoh konflik kewenang-an secara positif diantaranya ketiga instansi tersebut sama-sama berwenang membuat BAP dan menyerahkannya ke Jaksa Penuntut Umum. Konflik kewenangan seperti ini tidaklah menguntungkan dan harus dicarikan solusi pemecahannya secara hukum.
Dikaitkan dengan tiga sumber kewenangan, yaitu Kewenangan Atribusi, Delegasi dan Mandat, maka kewenangan penegakan hukum perikanan oleh ketiga instansi penegakan hukum perikanan tersebut yang bersumberkan pada UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, maka kewenangan tersebut merupakan Kewenangan Atribusi. Secara hukum ketiga instansi penegak hukum perikanan tersebut sama-sama berwenang untuk membuat aturan hukum yang bersifat regulasi dalam menjalankan kewenangannya untuk menegakkan hukum perikanan. Sampai saat ini yang paling terdepan dan maju dalam membuat aturan hukum regulasi dalam rangka menjalankan kewenangan penegakan hukum perikanan adalah instansi DKP, kita dapat melihat perkembangan DKP yang jauh lebih maju dibandingkan dengan instansi TNI AL dan Kepolisian. Banyak aturan hukum regulasi yang dikeluarkan oleh DKP (Peraturan Lembaga maupun Peraturan Jabatan) untuk memayungi tindakan hukum dalam penegakan hukum perikanan oleh instansinya, sebagai contoh dibuatnya aturan hukum pembentukan Armada Kapal Patroli DKP yang dilengkapi persenjataan, aturan hukum ketentuan-ketentuan penangkapan kapal ikan illegal dan mekanisme penyelesaian pemberkasan BAP, dan lain-lain yang kesemuanya itu dipayungi oleh aturan hukum regulasi. Pembentukan aturan hukum regulasi tersebut berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, karena disadari bahwa seluruh tindak pemerintahan di bidang penegakkan hukum harus berdasarkan pada asas legalitas (berdasarkan pada aturan hukum yang jelas) dan disadari pula di instansi DKP banyak pemikir-pemikir hukum yang handal.
Apabila kita bandingkan dengan instansi TNI AL yang berwenang melakukan penegakan hukum perikanan jauh tertinggal. Pembentukan aturan hukum regulasi oleh TNI AL dalam menjalankan kewenangan penegakan hukum perikanan tersebut, sebagian besar produk pengaturannya diatur dalam aturan hukum Peraturan Kebijaksanaan (beleidsregel, policy rule) bukan berbentuk aturan hukum regulasi (Peraturan Lembaga dan Peraturan Jabatan). Peraturan Kebijaksanaan tidak mempunyai kekuatan hukum berlakunya. Berikut diuraikan beberapa kelemahan Peraturan Kebijaksanaan, sebagai berikut :
• Jenis Peraturan Kebijaksanaan tidak dikenal dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004. Bentuk Peraturan Kebijaksanaan seperti Protap, Telegram, Surat Telegram, Juknik, Juklak, Jukminu, Surat Edaran, Nota Dinas, dan lain-lain tidak termasuk Keputusan/Surat Keputusan, bukanlah bentuk aturan hukum regulasi.
• Badan/lembaga yang mengeluarkan Peraturan Kebijaksanaan tidak memiliki kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan, pada hal TNI AL sebagai lembaga yang berwenangan dalam penegakan hukum perikanan mempunyai kewenangan yang sama untuk membentuk aturan hukum regulasi (pengaturan) dalam menjalankan kewenangan penegakan hukum, tidak dalam bentuk Peraturan Kebijaksanaan jadi harus dibentuk dalam aturan hukum regulasi berupa Peraturan Lembaga dan Peraturan Jabatan.
• Paraturan Kebijaksaaan biasanya digunakan dalam rangka freies ermessen artinya Pejabat Pemerintah (lembaga publik) diberi kewenangan membuat aturan/mengeluarkan aturan yang sifatnya mendesak dibutuhkan dikarenakan belum ada aturan hukum yang mengaturnya, dalam arti Peraturan Kebijaksanaan dikeluarkan pada saat mendesak saja. Penegakan hukum perikanan tidak dapat dilakukan secara mendesak melainkan harus melalui perencanaan yang baik dan matang.
• Peraturan Kebijaksanaan tidak mempunyai daya ikat hukum secara langsung, namun masih mempunyai relevansi hukum, artinya Peraturan Kebijaksanaan ini dilaksanakan atau tidak dilaksanakan tidak mempunyai akibat hukum atau tidak melahirkan hak dan kewajiban hukum. Peraturan Kebijaksanaan pada instansi TNI AL tetap jalan karena dilindungi oleh UU Hukum Pidana Militer dan UU Hukum Disiplin Militer.
Sebagai ilustrasi contoh pengaturan masalah pelepasan kapal-kapal perikanan yang telah mendapatkan Putusan Hukum Tetap (inkracht) berdasarkan putusan Pengadilan dan untuk eksekusi pelepasan oleh Kejaksaan harus menunggu persetujuan dari Kotama Atas dari setiap instansi TNI AL. Pengaturan masalah ini diatur dalam Peraturan kebijaksanaan berupa Surat Telegram. Disamping apa yang diatur tersebut melanggar hukum, yaitu melanggar asas legalitas (setiap tindak pemerintahan harus berdasarkan hukum) juga sarana hukum pengaturannya tidak tepat, seharusnya diatur dalam undang-undang karena menyangkut hak asasi manusia (lihat Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2004).
Berdasarkan beberapa kelemahan dari Peraturan Kebijaksanaan tersebut sudah selayaknya instansi TNI AL merencanakan dengan baik proses penegakan hukum perikanan yang dimulai dari pembenahan produk aturan hukum, apabila instansi TNI AL tidak memulainya dari sekarang tidak tertutup kemungkinan di masa mendatang kewenangan penegakan hukum perikanan tersebut akan terlepas dan dialihkan kepada instansi yang lebih tepat dan mampu dalam penegakan hukum perikanan.
Apabila dilihat dari sejarah penegakan hukum perikanan memang instansi TNI AL sejak UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI, tugas penegakan hukum perikanan bukanlah tugas pokok TNI AL melainkan tugas membantu pemerintah dalam penegakan hukum. Tugas pokok TNI AL dalam UU No. 20 Tahun 1982 tersebut adalah terfokus pada penegakan keamanan negara dalam hal ini penegakan kedaulatan negara di laut, artinya tugas pokok TNI AL hanya menangkap musuh, mengusir musuh yang datang dari dan lewat laut. Baru disadari bahwa perlunya penambahan tugas pokok TNI AL dalam penegakan hukum di laut dan baru dipositifkan melalui UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Nah kedepan apabila tugas penegakan hukum di laut ini tidak ditangani secara profesional tidak tertutup kemungkinan tugas penegakan hukum perikanan ini akan menjadi kenangan belaka, karena tuntutan perkembangan keadaan zaman dan tuntutan kemampuan penegakan hukum perikanan secara profesional.
Sebagaimana telah terbentuknya sebuah Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan mempunyai tugas mengkoordinasikan kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan:
1. koordinasi kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan
2. identifikasi jenis, modus operandi, volume dan penyebaran praktik-praktik tindak pidana di bidang perikanan
3. penetapan jenis tindak pidana di bidang perikanan yang diprioritaskan untuk diproses secara bertahap
4. penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak pidana di bidang perikanan
5. analisis, identifikasi, dan pengukuran signifikansi tindak pidana di bidang perikanan
6. perancangan bentuk-bentuk koordinasi kegiatan-kegiatan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan
7. perumusan dan pemutakhiran strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan
8. pemantauan dan penyajian laporan pelaksanaan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan
9. pengkayaan dan evaluasi efektivitas strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan secara berkelanjutan.
Susunan keanggotaan Forum Koordinasi penangan tindak pidana di bidang perikanan pada Tingkat Pemerintah Pusat (Pasal 5) terdiri dari :
1. Ketua oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
2. Wakil Ketua I oleh Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
3. Wakil Ketua II oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4. Sekretaris I Merangkap Anggota oleh Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelutan dan Perikanan.
5. Sekretaris II Merangkap Anggota oleh Asisten Operasi Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
Anggota terdiri dari
a. Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Kejaksaan Agung RI
b. Kepala Badan Pembinaan Hukum Kepolisian Negara RI
c. Dirjen Imigrasi, Departemen Hukum & HAM
d. Dirjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan
e. Dirjen Bea Cukai, Departemen Keuangan
f. Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
g. Direktur Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung RI.
Apabila instansi-instansi penegak hukum perikanan berjalan sendiri-sendiri tanpa ada keterpaduan system, hal ini dapat membuka pintu Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) serta dapat menimbulkan tindakan penyalahgunaan wewenang dan tin-dakan sewenang-wenang oleh ketiga instansi penegak hukum perikanan itu
Integrated system tersebut misalnya system online penegakan hukum perikanan artinya apabila salah satu instansi penegak hukum perikanan melakukan penangkapan kapal perikanan illegal (melakukan penangkapan ikan secara illegal), saat itu juga terdeteksi oleh instansi penegak hukum perikanan lainnya (terdeteksi oleh ketiga instansi penyidik tindak pidana di bidang perikanan, bahkan terdeteksi juga oleh instansi Kejaksaan, instansi Pengadilan Perikanan).
Apabila masih terasa sulit untuk membentuk sistem penegakan hukum perikanan secara terpadu dengan online integrated sistem, perlu kita pikirkan membentuk lembaga pengawasan secara tersendiri yang dibentuk dengan undang-undang dan laporan pertangggung jawabannya langsung ke Parlemen, yaitu DPR RI untuk seluruh laporan dari seluruh wilayah di Indonesia dan DPRD untuk pelaporan tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan adanya lembaga pengawasan terhadap penegakan hukum perikanan maka kepentingan rakyat akan terlindungi oleh adanya lembaga tersebut
Oleh karena itu untuk penyelesaian hukum konflik kewenangan dalam penegakan hukum perikanan perlu diambil langkah-langkah revisi terhadap UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dengan memasukkan pembagian kewenangan secara jelas serta dilengkapi mekanisme kerja yang pasti dan memasukkan sistem penegakan hukum perikanan secara terpadu yang dilengkapi dengan lembaga pengawasan dalam penegakan hukum perikanan, sehingga tidak terjadi konflik kewenangan seperti yang terjadi saat ini
Sumber: Hukum Perikanan, DR. Lufsiana, S.H., M.H
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan tersebut tidak mengatur pembagian kewenangan secara jelas dan tidak pula mengatur mekanisme kerja yang pasti, sehingga ketiga instansi tersebut menyatakan instansinya sama-sama berwenang dalam penegakan hukum perikanan serta tanpa adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya. Hal inilah yang disebut sebagai konflik kewenangan dalam penegakan hukum perikanan.
Dikatakan konflik kewenangan karena ketiga instansi tersebut sama-sama berwenang dalam menangani perkara yang sama dan berjalan secara sendiri-sendiri tanpa adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya, artinya sama-sama berwenang melakukan penyidikan serta sama-sama berwenang mela-kukan pemberkasan BAP dan menyerahkannya kepada Jaksa Penuntut Umum tanpa adanya pembagian kewenangan secara jelas serta tanpa adanya mekanisme kerja yang pasti. Perlu diketahui bahwa konflik kewenangan ini tidak hanya bersifat negatif melainkan konflik kewenangan bersifat positif (sama-sama berwenang). Sebagai ilustrasi contoh konflik kewenangan secara negatif, berdasarkan informasi dari masyarakat pada titik koordinat tertentu telah terjadi penangkapan ikan secara illegal (tanpa izin). Informasi tersebut diinformasikan pada ketiga instansi penegak hukum perikanan, yaitu instansi DKP, TNI AL dan Kepolisian secara bersamaan, lalu ketiga instansi tersebut menurunkan armadanya masing-masing untuk melakukan penangkapan, dan bertemulah ketiga armada tersebut di tengah-tengah laut, walaupun tidak terjadi pertengkaran/perkelahian, dengan adanya tindakan sama-sama menurunkan armada berarti telah terjadi kerugian materi untuk melakukan tindakan yang sia-sia tidak menentu. Ilustrasi contoh konflik kewenang-an secara positif diantaranya ketiga instansi tersebut sama-sama berwenang membuat BAP dan menyerahkannya ke Jaksa Penuntut Umum. Konflik kewenangan seperti ini tidaklah menguntungkan dan harus dicarikan solusi pemecahannya secara hukum.
Dikaitkan dengan tiga sumber kewenangan, yaitu Kewenangan Atribusi, Delegasi dan Mandat, maka kewenangan penegakan hukum perikanan oleh ketiga instansi penegakan hukum perikanan tersebut yang bersumberkan pada UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, maka kewenangan tersebut merupakan Kewenangan Atribusi. Secara hukum ketiga instansi penegak hukum perikanan tersebut sama-sama berwenang untuk membuat aturan hukum yang bersifat regulasi dalam menjalankan kewenangannya untuk menegakkan hukum perikanan. Sampai saat ini yang paling terdepan dan maju dalam membuat aturan hukum regulasi dalam rangka menjalankan kewenangan penegakan hukum perikanan adalah instansi DKP, kita dapat melihat perkembangan DKP yang jauh lebih maju dibandingkan dengan instansi TNI AL dan Kepolisian. Banyak aturan hukum regulasi yang dikeluarkan oleh DKP (Peraturan Lembaga maupun Peraturan Jabatan) untuk memayungi tindakan hukum dalam penegakan hukum perikanan oleh instansinya, sebagai contoh dibuatnya aturan hukum pembentukan Armada Kapal Patroli DKP yang dilengkapi persenjataan, aturan hukum ketentuan-ketentuan penangkapan kapal ikan illegal dan mekanisme penyelesaian pemberkasan BAP, dan lain-lain yang kesemuanya itu dipayungi oleh aturan hukum regulasi. Pembentukan aturan hukum regulasi tersebut berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, karena disadari bahwa seluruh tindak pemerintahan di bidang penegakkan hukum harus berdasarkan pada asas legalitas (berdasarkan pada aturan hukum yang jelas) dan disadari pula di instansi DKP banyak pemikir-pemikir hukum yang handal.
Apabila kita bandingkan dengan instansi TNI AL yang berwenang melakukan penegakan hukum perikanan jauh tertinggal. Pembentukan aturan hukum regulasi oleh TNI AL dalam menjalankan kewenangan penegakan hukum perikanan tersebut, sebagian besar produk pengaturannya diatur dalam aturan hukum Peraturan Kebijaksanaan (beleidsregel, policy rule) bukan berbentuk aturan hukum regulasi (Peraturan Lembaga dan Peraturan Jabatan). Peraturan Kebijaksanaan tidak mempunyai kekuatan hukum berlakunya. Berikut diuraikan beberapa kelemahan Peraturan Kebijaksanaan, sebagai berikut :
• Jenis Peraturan Kebijaksanaan tidak dikenal dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004. Bentuk Peraturan Kebijaksanaan seperti Protap, Telegram, Surat Telegram, Juknik, Juklak, Jukminu, Surat Edaran, Nota Dinas, dan lain-lain tidak termasuk Keputusan/Surat Keputusan, bukanlah bentuk aturan hukum regulasi.
• Badan/lembaga yang mengeluarkan Peraturan Kebijaksanaan tidak memiliki kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan, pada hal TNI AL sebagai lembaga yang berwenangan dalam penegakan hukum perikanan mempunyai kewenangan yang sama untuk membentuk aturan hukum regulasi (pengaturan) dalam menjalankan kewenangan penegakan hukum, tidak dalam bentuk Peraturan Kebijaksanaan jadi harus dibentuk dalam aturan hukum regulasi berupa Peraturan Lembaga dan Peraturan Jabatan.
• Paraturan Kebijaksaaan biasanya digunakan dalam rangka freies ermessen artinya Pejabat Pemerintah (lembaga publik) diberi kewenangan membuat aturan/mengeluarkan aturan yang sifatnya mendesak dibutuhkan dikarenakan belum ada aturan hukum yang mengaturnya, dalam arti Peraturan Kebijaksanaan dikeluarkan pada saat mendesak saja. Penegakan hukum perikanan tidak dapat dilakukan secara mendesak melainkan harus melalui perencanaan yang baik dan matang.
• Peraturan Kebijaksanaan tidak mempunyai daya ikat hukum secara langsung, namun masih mempunyai relevansi hukum, artinya Peraturan Kebijaksanaan ini dilaksanakan atau tidak dilaksanakan tidak mempunyai akibat hukum atau tidak melahirkan hak dan kewajiban hukum. Peraturan Kebijaksanaan pada instansi TNI AL tetap jalan karena dilindungi oleh UU Hukum Pidana Militer dan UU Hukum Disiplin Militer.
Sebagai ilustrasi contoh pengaturan masalah pelepasan kapal-kapal perikanan yang telah mendapatkan Putusan Hukum Tetap (inkracht) berdasarkan putusan Pengadilan dan untuk eksekusi pelepasan oleh Kejaksaan harus menunggu persetujuan dari Kotama Atas dari setiap instansi TNI AL. Pengaturan masalah ini diatur dalam Peraturan kebijaksanaan berupa Surat Telegram. Disamping apa yang diatur tersebut melanggar hukum, yaitu melanggar asas legalitas (setiap tindak pemerintahan harus berdasarkan hukum) juga sarana hukum pengaturannya tidak tepat, seharusnya diatur dalam undang-undang karena menyangkut hak asasi manusia (lihat Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2004).
Berdasarkan beberapa kelemahan dari Peraturan Kebijaksanaan tersebut sudah selayaknya instansi TNI AL merencanakan dengan baik proses penegakan hukum perikanan yang dimulai dari pembenahan produk aturan hukum, apabila instansi TNI AL tidak memulainya dari sekarang tidak tertutup kemungkinan di masa mendatang kewenangan penegakan hukum perikanan tersebut akan terlepas dan dialihkan kepada instansi yang lebih tepat dan mampu dalam penegakan hukum perikanan.
Apabila dilihat dari sejarah penegakan hukum perikanan memang instansi TNI AL sejak UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI, tugas penegakan hukum perikanan bukanlah tugas pokok TNI AL melainkan tugas membantu pemerintah dalam penegakan hukum. Tugas pokok TNI AL dalam UU No. 20 Tahun 1982 tersebut adalah terfokus pada penegakan keamanan negara dalam hal ini penegakan kedaulatan negara di laut, artinya tugas pokok TNI AL hanya menangkap musuh, mengusir musuh yang datang dari dan lewat laut. Baru disadari bahwa perlunya penambahan tugas pokok TNI AL dalam penegakan hukum di laut dan baru dipositifkan melalui UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Nah kedepan apabila tugas penegakan hukum di laut ini tidak ditangani secara profesional tidak tertutup kemungkinan tugas penegakan hukum perikanan ini akan menjadi kenangan belaka, karena tuntutan perkembangan keadaan zaman dan tuntutan kemampuan penegakan hukum perikanan secara profesional.
Sebagaimana telah terbentuknya sebuah Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan mempunyai tugas mengkoordinasikan kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan:
1. koordinasi kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan
2. identifikasi jenis, modus operandi, volume dan penyebaran praktik-praktik tindak pidana di bidang perikanan
3. penetapan jenis tindak pidana di bidang perikanan yang diprioritaskan untuk diproses secara bertahap
4. penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak pidana di bidang perikanan
5. analisis, identifikasi, dan pengukuran signifikansi tindak pidana di bidang perikanan
6. perancangan bentuk-bentuk koordinasi kegiatan-kegiatan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan
7. perumusan dan pemutakhiran strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan
8. pemantauan dan penyajian laporan pelaksanaan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan
9. pengkayaan dan evaluasi efektivitas strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan secara berkelanjutan.
Susunan keanggotaan Forum Koordinasi penangan tindak pidana di bidang perikanan pada Tingkat Pemerintah Pusat (Pasal 5) terdiri dari :
1. Ketua oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
2. Wakil Ketua I oleh Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
3. Wakil Ketua II oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4. Sekretaris I Merangkap Anggota oleh Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelutan dan Perikanan.
5. Sekretaris II Merangkap Anggota oleh Asisten Operasi Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
Anggota terdiri dari
a. Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Kejaksaan Agung RI
b. Kepala Badan Pembinaan Hukum Kepolisian Negara RI
c. Dirjen Imigrasi, Departemen Hukum & HAM
d. Dirjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan
e. Dirjen Bea Cukai, Departemen Keuangan
f. Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
g. Direktur Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung RI.
Apabila instansi-instansi penegak hukum perikanan berjalan sendiri-sendiri tanpa ada keterpaduan system, hal ini dapat membuka pintu Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) serta dapat menimbulkan tindakan penyalahgunaan wewenang dan tin-dakan sewenang-wenang oleh ketiga instansi penegak hukum perikanan itu
Integrated system tersebut misalnya system online penegakan hukum perikanan artinya apabila salah satu instansi penegak hukum perikanan melakukan penangkapan kapal perikanan illegal (melakukan penangkapan ikan secara illegal), saat itu juga terdeteksi oleh instansi penegak hukum perikanan lainnya (terdeteksi oleh ketiga instansi penyidik tindak pidana di bidang perikanan, bahkan terdeteksi juga oleh instansi Kejaksaan, instansi Pengadilan Perikanan).
Apabila masih terasa sulit untuk membentuk sistem penegakan hukum perikanan secara terpadu dengan online integrated sistem, perlu kita pikirkan membentuk lembaga pengawasan secara tersendiri yang dibentuk dengan undang-undang dan laporan pertangggung jawabannya langsung ke Parlemen, yaitu DPR RI untuk seluruh laporan dari seluruh wilayah di Indonesia dan DPRD untuk pelaporan tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan adanya lembaga pengawasan terhadap penegakan hukum perikanan maka kepentingan rakyat akan terlindungi oleh adanya lembaga tersebut
Oleh karena itu untuk penyelesaian hukum konflik kewenangan dalam penegakan hukum perikanan perlu diambil langkah-langkah revisi terhadap UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dengan memasukkan pembagian kewenangan secara jelas serta dilengkapi mekanisme kerja yang pasti dan memasukkan sistem penegakan hukum perikanan secara terpadu yang dilengkapi dengan lembaga pengawasan dalam penegakan hukum perikanan, sehingga tidak terjadi konflik kewenangan seperti yang terjadi saat ini
Sumber: Hukum Perikanan, DR. Lufsiana, S.H., M.H
0 comments:
Posting Komentar