Mengenai tentang buruknya lini dan fungsional organisasi dalam pendidikan itu sama saja merupakan sebuah masalah atau konflik yang terjadi pada organisasi tersebut, kita ambil contoh dunia pendidikan selalu mengadakan inovasi dalam berbagai hal, baik yang menyangkut regulasi dan implementasinya di lapangan, menyiapkan sumber daya (sumber daya manusia atau sumber daya lain), melengkapi fasilitas sarana prasarana, mengganggarkan pembiayaan, membuat kendali, dan hal-hal lain yang bersifat menejerial organisasi di lingkup pendidikan. Disini seorang Kepala Sekolah diminta untuk menangani sebuah masalah dan bagaimana masalah itu menjadi sebuah dampak yang positif untuk meningkatkan mutu sekolah. Namun kita ketahui pada kenyataanya di lapangan khususnya di institusi pendidikan, kepala sekolah justru jarang atau malas untuk menerapkan pengendalian sebuah masalah, karena beranggapan kepada paradigma lama dimana jika terjadi sebuah masalah lebih besar pengaruh negatifnya (mudaratnya). Lebih dari itu, bagaimana kepala sekolah bersama tenaga kependidikan lainnya dapat memegang dan mengendalikan sebuah masalah untuk meningkatkan mutu sekolah?
Menghadapi dinamika perubahan ini tentu menyisakan berbagai macam problematika. Permasalahan-permasalahan yang timbul itu perlu dikenali, bahkan masalah-masalah yang masih berwujud potensi perlu didorong untuk muncul dengan harapan dapat diantisipasi atau dicarikan solusinya agar tidak berdampak negatif terhadap kemajuan sekolah.
Beberapa permasalahan yang muncul atau masih berujud potensi itu antara lain sebagai berikut :
1) Anggapan bahwa manajemen konflik tidak efektif untuk meningkatkan mutu sekolah
2) Manajemen konflik lebih banyak berdampak negatif bagi anggota organisasi.
3) Kepala sekolah tidak terampil dalam menggunakan manajemen konflik untuk meningkatkan mutu sekolah.
4) Budaya ganti pemimpin ganti kebijakan. Hal demikian ini sering membuat para pelaku di tingkat bawah menjadi kebingungan karena kebijakan lama belum jelas menampakkan hasil, tetapi sudah harus menyesuaikan dengan kebijakan baru yang perlu penyesuaian kembali.
5) Belum siapnya sumber daya yang ada terutama para stake holders di tingkat bawah untuk menghadapi perubahan-perubahan yang hampir terjadi setiap saat.
6) Pemahaman terhadap manajemen sekolah sering membuat kita jadi sulit menentukan pilihan manakah yang harus dilakukan terlebih dahulu.
7) Pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi masing-masing elemen dari sistem pendidikan di Indonesia masih kurang, sehingga tidak bisa menghayati tugas dan peranannya dalam sistem tersebut.
8) Penempatan tenaga kependidikan tidak mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektivitas.
9) Masih dijumpai tenaga kependidikan (guru/kepala sekolah) berperan ganda yang seharusnya lebih fokus terhadap tugas pokok dan fungsinya sebagai pengajar, tepai juga harus mengurus kebutuhan pemenuhan sarana prasaran, fisik gedung sekolah yang rusak atau kurang layak untuk berlangsungnya proses belajar mengajar yang efektif. Tugas pokok dan fungsi kepala sekolah yang tercermin dalam EMASLIM dirasa sangat berat, padahal SD belum dilengkapi dengan tenaga kependidikan yang khusus bekerja di bidang ketata usahaan, perpustakaan, sehingga praktis semua tugas yang ada di SD menjadi tanggung jawab guru / kepala sekolah.
10) Budaya reward and punishment yang tidak proporsional, sehingga melahirkan kecemburuan sosial dan menurunnya semangat dan etos kerja.
11) Pemberlakuan masa jabatan kepala sekolah 4 tahunan, dapat berdampak positif untuk memacu kinerja yang lebih optimal, tetapi dapat pula berdampak negatif terutama bagi kepala sekolah yang sudah memangku jabatan ketika aturan tersebut diberlakukan. Ada gejala post power syndrom dan kecemasan untuk kembali bertugas hanya sebagai guru biasa.
Itulah beberapa sebuah contoh masalah buruknya lini dan fungsionalnya dalam bidang pendidikan.
Rabu, 30 Desember 2009
TUGAS III [1]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar