Please Enable JavaScript Your Browser.. Thank's

Senin, 09 November 2009

Konflik Internal DPR

Mungkin selama ini masyarakat jarang ada yang marah dan kesal mendengar konflik internal yang terjadi di DPR hasil pemilu tahun 2004 silam. Banyak yang tidak menduga bahwa DPR akan menghadapi masalah yang amat parah setelah pemilu, bahwa kita mengingat masalah seperti itu sama sekali belum pernah dialami Indonesia selama ini. Pada umumnya rakyat beranggapan bahwa pemilu legislative yang telah berjalan secara demokratis akan mampu menghasilkan DPR yang lebih baik dari DPR-DPR sebelumnya. Demikian juga halnya dengan lembaga eksekutif. Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat diharapkan dapat mampu menghasilkan pemerintah yang lebih baik dari yang sebelumnya sehingga dapat membawa bangsa Indonesia keluar dari krisis yang parah.

Kelihatannya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil meyakinkan rakyat Indonesia bahwa pemerintah mempunyai nilai dan tekad yang kuat untuk bekerja keras. Berbagai rencana jangka pendek (100 hari) telah disampaikan. Rakyat tentu saja akan menilai kinerja pemerintah tersebut. Harapan rakyat adalah tercapainya rencana kerja jangka pendek tersebut sebagai dasar bagi tugas-tugas untuk lima tahun kedepan.

Pada saat pemerintah sibuk menyusun dan menyampaikan program-programnya kepada rakyat, DPR hasil pemilu tahun 2004 ternyata telah terlibat dalam pertikaian hebat yang membuat lembaga legislative tersebut praktis lumpuh karena tidak mampu menyatukan seluruh anggotanya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan lembaga tersebut. Ironisnya kejadian ini adalah pengalaman terburuk yang dialami DPR dalam sejarah Indonesia modern, padahal Pemilu tahun 2004 merupakan pemilu yang paling demokratis yang pernah dialami bangsa Indonesia. Jadi pemilu demokratis tidaklah merupakan jaminan bagi adanya DPR yang mampu bekerja dengan baik.

Tidak perlu membahas penyebab dan kronologis konflik internal DPR tersebut karena sudah tidak perlu mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, oleh karena itu terlepas dari siapa yang salah dan benar. Citra DPR mengalamai kemorosotan drastic sebagai akibat konflik tersebut. DPR tentu saja disalahkan oleh banyak pihak karena anggota-anggota DPR bertikai berkepanjangan di tengah-tengah tuntutan rakyat bagi berhasilnya pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sudah tentu muncul kekhawatiran bahwa pertikaian tersebut dapat menghambat pelaksanaan tugas-tugas pemerintah yang hasilnya sangat didambakan rakyat.

Konflik internal tersebut menyebabkan merosotnya citra partai politik. Perlu dicatat disini bahwa Soekarno dan Soeharto mempunyai persamaan dalam sikap anti-partai politik. Soekarno adalah seorang yang anti-demokrasi liberal dengan system multipartai. Soeharto adalah penerus ide Soekarno tersebut dengan melakukan deparpolisasi, depolitisasi dan kebijakan massa mengambangi (floating mass) di daerah pedesaan.

Salah satu tujuan politik rezim Orde Baru adalah melemahkan partai politik dan memperkuat Golkar. Bagi elite politik Orde Baru, Golkar bukanlah partai politik. Setelah tahun 1973, partai-partai politik adalah PPP dan PDI. Kebijakan ini tentu saja membawa dampak yang mendalam karena masa Orde Lama dan masa Orde Baru yang berlangsung selama 45 tahun tersebut (semenjak 1959), telah berhasil menanamkan sikap anti-partai di dalam masyarakat (paling tidak sikap penuh curiga terhadap partai politik).

Oleh karena itu, merebaknya konflik internal DPR dengan segera disambut sikap skeptis dan tidak percaya terhadap partai-partai politik. Kejadian sebelumnya juga menunjukan gejala yang merugikan partai politik. Yang dimaksud adalah keterlibatan tokoh-tokoh partai politik di hamper semua daerah dalam politik yang (money politics) pada proses pemilihan dan pertanggungjawaban kepala daerah.

Kesemua gejala ini semakin memperkuat rasa antisipati terhadap partai politik di kalangan rakyat Indonesia yang tentu saja sangat merugikan perkembangan demokrasi di Tanah Air. Disebut merugikan karena politik adalah salah satu pilar demokrasi terpenting, demokrasi tidak ada artinya bila tidak ada partai politik.

Karena itu bila tokoh-tokoh partai politik berniat membantu mengembangkan demokrasi di Indonesia, mereka harus mampu memperbaiki citra DPR dan partai politik dengan menunjukan tingkah laku yang sesuai dengan harapan rakyat. Memang DPR adalah arena untuk berkonflik karena semua anggota DPR dan semua fraksi berhak dan boleh menyatakan pendapat masing-masing dengan bebas, ini adalah ketentuan yang diberikan demokrasi.

Tapi demokrasi juga menuntut adanya keterampilan untuk menyelesaikan konflik, sehebat apapun konflik (secara damai) tersebut. Karena konflik terjadi dalam musyawarah, konflik juga harus diselesaikan dalam musyawarah, bila musyawarah tidak bisa menghasilkan mufakat, cara pemungutan suara (voting) harus digunakan untuk mencegah terjadinya kebuntuan (deadlock) dalam pelaksanaan tugas-tugas DPR.

Yang menjadi masalah sekarang ini adalah kecilnya keterampilan para anggota DPR dalam menyelesaikan konflik di antara mereka. Keterampilan ini memang diharuskan oleh demokrasi agar konflik tidak berkepanjangan. Semua manusia mempunyai kemampuan berkonflik dengan manusia lain karena berkonflik adalah bakat alamiah manusia. Keterampilan menyelesaikan konflik adalah sesuatu yang harus dipelajari. Kelihatannya anggota-anggota DPR dan elite partai-partai politik masih harus belajar banyak.

Mengingat penyebab konflik internal DPR bukanlah sesuatu yang prinsipil (seperti ideology), penyelesaian konflik di DPR sangat tergantung pada kesediaan para anggota DPR untuk mencari kompromi yaitu titik temu antara pihak-pihak yang berkonflik. Bila ada kesediaan untuk bermusyawarah serta saling memberi dan menerima sudah pasti konflik itu dapat segera diselesaikan. Anggota-anggota DPR memang tidak mempunyai alternative lain kecuali tercapainya penyelesaian konflik sehingga DPR kembali bersatu seperti semula.

Sumber: Maswadi Rauf, dosen FISIP UI

0 comments:

Posting Komentar