Please Enable JavaScript Your Browser.. Thank's

Jumat, 16 April 2010

Kasus Dalam Negri

Tanjung Priok berdarah lagi, setelah kasus Tanjung Priok pada tahun 1984 menelan banyak korban, kini Tanjung Priok kembali membara dan darah tertumpah lagi.

Kemarin tanggal 14 April 2010 peristiwa serupa berulang di kawasan yang sama di Tanjung Priok. Polisi dan warga berperang dari pagi sampai sore dengan keganasan dan kebencian yang mengerikan. Puluhan orang terluka dan banyak kendaraan polisi dibakar massa. Kerusuhan malah meluas sampai ke Rumah Sakit Koja.

Pemicunya sama, yaitu persinggungan dengan keyakinan agama. Di tahun 1984, kerusuhan berdarah dipicu oleh kemarahan warga terhadap seorang aparat yang memasuki masjid tanpa membuka alas kaki.

Sementara perang kemarin dipicu oleh perlawanan warga kepada ribuan satpol pamong praja yang hendak memasuki kompleks makam Mbah Priok yang selama ini diyakini keramat. Kompleks itu berada dalam lahan milik PT Pelindo II. Mbak Priok adalah nama lain dari Habib Hassan bin Muhamad al Hadad, penyiar Islam dari Sumatera yang pertama kali menamakan kawasan di utara Jakarta itu sebagai Tanjung Priok.

Ketika peristiwa Tanjung Priok meledak tahun 1984, publik tidak banyak yang tahu. Pers yang terkontrol ketat tidak menyiarkan peristiwa itu apa adanya.
Kemarin, Perang Tanjung Priok, menjadi tontonan. Inilah perang yang terjadi di masa demokrasi dan kebebasan. Publik menyaksikan betapa negara, dengan segala kelengkapan dan kewenangan ternyata tidak mencintai rakyatnya.

Di sisi yang lain, publik pun bisa menyaksikan betapa warga negara telah memiliki kebringasan yang mengerikan juga. Mereka bisa memamerkan senjata tajam dan segala peralatan perang yang mungkin dipergunakan sebagai senjata, termasuk meledakan bom molotov.

Apa yang menyebabkan negara dan rakyatnya sendiri terlibat pertarungan berdarah yang mengerikan layaknya seperti musuh di medan perang?

Ini semuanya terjadi karena beberapa sebab. Pertama, tidak terlihat peningkatan yang sungguh-sungguh pada komitmen negara mencintai rakyatnya. Negara, bila terjadi konflik kepentingan dengan warga lebih cenderung memperlakukan rakyat sebagai musuh yang harus disingkirkan.

Kedua, betapa buruknya negara menjalankan resolusi problem. Makam Mbah Priok itu, menurut keterangan Wakil Gubernur DKI Prijanto, tidak digusur tetapi hendak direnovasi sebagai tempat kramat. Tetapi niat baik itu tidak dipahami karena komunikasi yang buruk.

Ketiga, terjadi distrust yang parah terhadap peraturan karena semakin hari semakin jelas bahwa penegakan hukum di negeri ini sangatlah manipulatif. Mafia hukum yang terbongkar belakangan ini bisa menjelaskan betapa meluasnya manipulasi itu.

Lalu, yang tidak kalah pentingnya adalah buruknya civic education. Negara lalai mendidik warga agar memiliki disiplin. Termasuk lembaga-lembaga pendidikan. Dan, yang juga lalai menjalankan civic education adalah partai politik.
(sumber: www.mediaindonesia.com)

0 comments:

Posting Komentar